Jumat, 30 Desember 2016

Minggu, 25 Desember 2016

Filsafat Hegel

George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) adalah filsuf Jerman yang dikenal sebagai pendiri idealisme moderen. Pokok-pokok pemikirannya sangat beragam dan mempengaruhi banyak filsuf sesudahnya, mulai dari Karl Marx hingga mazhab Frankfurt dengan tokoh utama Theodor Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse.

Filsafat Hegel sering disebut sebagai puncak idealisme Jerman. Filsafatnya banyak di inspirasikan oleh Imanuel Kant dengan filsafat ilmunya ( filsafat dualisme), Kant melakukan pengkajian terhadap kebuntuan perseteruan antara Empirisme dan Rasionalisme, keduanya bagi Kant terlalu ekstrem dalam mengklaim sumber pengetahuan. “Revolusi Kantian” kemudian berhasil menemukan jalan keluarnya.

Hegel yang pada awalnya sangat terpengaruh oleh filsafat Kant tersebut kemudian menemukan jalan keluarnya melalui kontemplasi yang terus menerus. Ketertarikan Hegel sejak awal pada metafisika, meyakinkannya bahwa ada ketidak jelasan bagian dunia, bagi Bertrand Russell pemikirannya kemudian merupakan Intelektualisasi dari wawasan metafisika.

Pada garis besarnya sesuai dengan perkembangan Roh, maka sistem filsafat Hegel dapat dibagi kepada tiga pokok utama:

Pertama, tahap ketika Roh berada dalam keadaan “ada dalam dirinya sendiri”, filsafat yang membicarakan Roh dalam posisi semacam ini disebut dengan logika. Logika yang memandang Roh yang memandang Roh dalam dirinya yang bebas dalam batas ruang dan waktu.

Kedua, tahap ketika Roh berada dalam keadaan “berbeda dengan dirinya sendiri”. Roh disini sudah diluar dirinya atau terasing dari dirinya Hegel menyebut sebagai pembahasan filsafat alam.

Ketiga, tahap dimana Roh kembali pada dirinya sendiri, ringkasnya Roh berada dalam keadaan “dalam dirinya dan bagi dirinya sendiri”, pembahasan ini disebut dengan filsafat Roh.

Fenomenologi Roh

Sebelum membahas tahapan diatas, penting kita membahas sedikit karya termasyur Hegel yaitu Fenomenologi Roh. Dalam karyanya ini Hegel menjelaskan bagaimana kesadaran manusia itu berkembang dalam proses dari tahapan paling rendah ke tahapan yang paling tinggi.

Kesadaran: kepastian indrawi, bahwa kesadaran pada taraf yang palih bawah adalah suatu pengindraan atas objek-objek khusus.Kesadaran diri: kesadaran diri yang paling rendah, yakni hasrat (sikap penguasaan atau pemuasan kepentingannya). Kesadaran yang libih tinggi adalah “ke-Kita-an” atau kesadaran sosial. Hegel menjelaskan bahwa ke-kita-an ini dapat dicapai melalui kontradiksi.Rasio: pada tahap ini, kontradiksi diatas dapat diatasi yang adalah sintesis antara kesadaran dan kesadaran diri, sehingga muncul kesadaran universalitas.Roh: kesadaran itu (universalitas) tak lain dari pada Roh itu sendiri yang sadar diri. Hegel menunjuk kesadaran moral yang tampil dalam aneka insitusi sosial merupakan bentuk sintesis yang kurang sempurna.Religius (agama): pada tahap ini sintesis itu betul-betul dicapai. Dalam tahapan ini Roh Absolut mengenal dirinya dalm beragama.

Logika (logik)

Logika yang dimaksud Hegel bukanlah logika yang terpisah dari metafisika, tetapi sebuah metafisika. Disini Hegel memberikan alasannya, yaitu Yang Absolut itu pikiran Absolut, maka ilmu tentang berpikir haruslah ilmu tentang realitas atau Yang Absolut. Logika Hegel berusaha mempelajari kategori-kategori ini dalam arti menjelaskan hakikat-hakikat pikiran Absolut atau realitas yang terwujud dalam alam dan sejarah.

Dalam menjelaskan logika, Hegel membaginya menjadi empat tahap:

Pertama, katagori realitas disebut juga “logika ada”. Menurut Hegel realitas adalah ada Absolut, namun ada jika ada sesuatu yang berlawanan dengannya, yakni ketiadaaan. Disini ia memahami “ada” sebagai tesis dan “ketiadaan” sebagai antitesis dan mencapai sintesis dalam menjadi. Hegel lalu menyimpulkan bahwa ada adalah menjadi, maka Yang Absolut sebagai ada adalah Yang Absolut sebagai menjadi. Dengan kata lain realitas itu adalah menjadi, sebuah proses perkembangan dari realitas itu sendiri.

Kedua, katagori refleksi disebut juga logika hakikat. Kesadaran roh yang dimana Roh mengenali dirinya sendiri yang menembus penampakan indrawi. Misalnya katagori hakikat dan kategori daya, hakikat adalah sesuatu dibelakang penampakan, sedangkan daya adalah ekspresi dari realitas. Kategori-kategori lainnya adalah substansi, sebab, akibat, aksi, reaksi, dst. Menurut Hegel pada gilirannya adalah kesadaran akan Yang Absolut sendiri sebagai substansi dan sebab satu-satunya kenyataan.

Ketiga, logika konsep sebagai sintesis dari dua kategori diatas. Ditahap ini katagori kenyataan dapat diperoleh melalui intuitif sedangkan kategori kesadaran diperoleh melalui perantara pikirar. Menurut hegel sintesisnya adalah kenyataan yang berpikir tanpa mediasi lain kecuali dirinya sendiri.

Keempat, konsep sebagai relitas. Hegel memahami konsep bukan sebagai sesuatu yang ada dalam pikiran subjektif belaka, melainkan sebuah realitas, yakni Yang Absolut sendiri. Untuk menjelaskan itu hegel menempuh tiga langkah dialektis. Konsep pertama adalah subjektif sebagai tesis yang dilanjutkan antitesisnya yaitu konsep sebagai objektivitas. Ketiga , terjadi sintesis dari logika konsep ini, yakni antara subjektivitas dan objektivitas. Kemudia memunculkan “idea” atau “logos” sebagai sintesisnya.

Filasafat alam

Dalam filsafat alam mempelajari Yang Absolut telah mengasingkan diri dalam alam. Sehingga alam tidak lain dari pada alienasi diri. Alam adalah roh absolute yang belum sadar diri, maka tak ada kebebasan dalam alam.

Alam merupakan tahap dalam kehidupan Yang Absolut sendiri, yakni tahap eksternalitasnya. Disini Hegel mendapati maslah yang mendasar. Disatu pihak Hegel tidak setuju kalau Alam disamakan dengan Allah atau Yang Absolut, dan dipihak lain dari sudut idealistisnya alam objektif tak terlepas dari Yang Absolut. Disini cukup ditunjukan bahwa kesulitan Hegel ini bersumber dari pendirian idealistisnya bahwa yang rel itu rasional dan yang rasional adalah real. Artinya, Alam bagaimanapun adalah ideal, tidak material. Dan yang merupakan realitas yang sesungguhnya ada adalah yang ideal.

Filsafat Roh

Dalam Filsafat Roh mempelajari bagaimana Yang Absolut mengenali dirinya kembali, menjadi sesuatu yang ada “pada dan bagi dirinya”. Filsafat Roh dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama disebut Roh Subjektif, dan dia juga membagi dalam tiga tahap. Tahap terendah adalah peralihan dari Alam ke Roh. Peralihan itu terjadi pada jiwa manusia sebagai subjek yang mengindrai. Tahap kedua adalah kesadaran diri. Tahap ketiga, membicarakan mengenai pikiran subjrektif.

Kedua, “Roh Objektif” yaitu Roh yang mengobjektifikasi diri dalam kehidupan sosial. Hegel membagi tiga tahap: pertama, Hegel berbicara mengenai “Hak” dalam kesadaran subjektif atau roh subjektif menyatakan dalam hal-hal material. Lalu tahap ini dilanjutkan dengan sebuah alienasi dari hak itu dalam kontrak. Didalam “kontrak” semua kesadaran dipersatukan. Kedua tahap diatas lalu disintesiskan pada tahap ketiga, yaitu moralitas. Moralitas bukanlah kesadaran akan kewajiban yang konkret, melainkan Hegel telah mengabstraksikan menjadi kehendak bebas yang sadar pada dirinya sendiri, dari keseluruhan kehidupan etis manusia yang bersifat subjektif dan objektif. Kesatuan antara subjektivitas dengan objektivitas, hegel menyebut “die Sttlichkeit” (kesusilaan).

Hegel menjelaskan bahwa kehidupan moral tampil dalam substansi etis: keluarga, masyarakat sipil dan Negara. Dalam Roh Objektif, filsafat Hak menjadi filsafat politik. Ketiga substansi etis itu menjadi sintesis antara subjektivitas dengan objektivitas yang sudah tercapai dalam moralitas. Serta ketiga substansi etis berkembang dalam tiga tahap institusional. Keluarga merupakan tahap terendah karena disitu anggota terikat dengan emosi. Tahap ini akan terancam hancur ketika anak-anak menjadi dewasa yang rasional, maka tahap berikutnya adalah masyarakat sipil yang tersusun dari individu-individu yang mencapai tujuan sendiri-sendiri. Tahap ini pula akan mengalami kehancuran karena masyarakat mengadakan institusional hukum. Dan tahap selanjutnya sebagai sintesa adalah negara.

 Sejarah adalah proses yang dilalui Roh untuk menyadari dirinya. Sehingga sejarah merupakan proses kemajuan kesadaran penuh dan kebebasan. Dalam sistem filsafat Roh dari Hegel, sejarah mempunyai tempat didalamnya. Didunia ini banyak terdapat Negara, maka diperlukan perjanjian untuk mengaturnya dan jika perjanjian itu dilanggar, maka akan terjadi perang. Hegel memberi nilai positif terhadap perang walaupun perang mengandung ketidakadilan dan penderitaan, namun menurut Hegel perang merupakan keniscayaan rasional.  Dan menurut Hegel, perang adalah keharusan rasional. Negara merupakan tahap dari yang disebut roh dunia, interaksi dan kontradiksi-kontradiksi diantara Negara menghasilkan perang. Hegel berpendapat perang disini justru akan mengerakan dialektika sejarah menuju Roh dunia.

Tahap ketiga dari filsafat Roh adalah Roh Absolut. Dari segi epistemologis, Roh Absolut adalah Roh pada taraf pengetahuan absolut yang dijelaskan Hegel Fenomenologi Roh. Tetapi dari segi metafisis, Dia adalah Yang Absolut sendiri. Jadi, bagi Hegel Yang Absolut adalah pengetahuan absolut. Karena pengetahuan didasari oleh manusia, bukan berarti manusia adalah Absolut, melainkan bahwa Yang Absolut itu menyadari dirinya sendiri sebagai Roh yang memikirkan dirinya melalui roh manusia. Individu memiliki kesadaran yang berbeda dari kesadaran diri individu yang lain. Kesadaran diri subjektif bukan Yang Absolut, melainkan berada dalam Yang Absolut. Selama individu hanya menyadari dirinya sendiri maka dia belum memiliki pengetahuan Absolut itu. Pengetahuan Absolut dapat dicapai melalui sejarah pemikiran menjadi sadar diri, akan tetapi sejarah dilalui banyak kontradiksi-kontradiksi. Ada konfik antar Negara yang diakhiri perang sebelum menuju ke Roh Dunia. Dalam Roh Dunia , Roh Absolut atau Pengetahuan Absolut terjadi antara subjektivitas dan objektivitas pada taraf yang luhur yaitu “Identitas Absolut” menurut Schelling.

Dalam pandangan Hegel, seluruh kenyataan merupakan suatu kejadian dan kejadian itu merupakan kejadian Roh. Dan Roh itu adalah “itu Dia yang Absolut atau Allah. Menurut Hegel, Roh sebagai realitas Absolut sesungguhnya merupakan suatu ide yang melewati alam. Sekadar untuk diketahui bahwa dalam memahami alam, Hegel berbeda dengan Spinoza. Spinoza memahami alam sebagai satu Substansi yang memiliki satu kesatuan, sedangkan Hegel memahami alam sebagai satu tahap dalam kejadian Roh Absolut. Oleh karena itu, Hegel mengajukan bahwa dalam Roh mutlak itu terdapat Roh subyektif, yaitu subyek yang memiliki kesadran terhadap dirinya sendiri. Apa yang disebut sebagai Roh subyektif ini mengalami suatu perubahan menjadi Roh obyektif yang menciptakan suatu gambaran tentang hukum, moral, dan lain sebagainya. Karena Roh ini mengalami perubahan, maka puncak dari perkembangan Roh ini adalah Roh Absolut sebagai realitas yang sempurna. Di dalam Roh yang Aboslut ini, terkandung seni, agama, dan filsafat yang memiliki realitas Absolut atau Yang Tak Terhingga sebagai obyek perefleksiannya. Ketiganya merefleksikan yang Absolut itu dalam cara pandang yang berbeda-beda. Misalnya: seni memahami yang Absolut melalui pengamatan inderawi, yaitu melalui lukisan-lukisan. Melalui keindahan sebuah karya seni, Hegel melihat bahwa manusia dapat menunjukkan kemampuannya untuk memahami keindahan alam yang merupakan kesaksian sempurna terhadap fakta bahwa manusia dapat mengintuisi keindahan. Namun, alam hanyalah sebagai simbol yang ada dalam pikiran manusia, karena ada yang lebih indah dari alam, yaitu Allah sebagai realitas murni yang tak terbagi. Demikian juga agama mamahami Yang Absolut dalam imajinasi, yaitu melalui refleksi atau permenungan sehari-hari. Sedangkan filsafat memahami Yang absolut melalui rasionalitas atau pencarian akal budi manusia. Kendatipun ketiga unsur ini memiliki cara tersendiri untuk memahami Yang Absolut itu, namun mereka mempunyai obyek pengamatan yang sama, yaitu Allah sebagai realitas murni, tunggal, utuh dan tak terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Pustaka Sastra LKiS, Yogyakarta, 2004

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, 2004

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004

Selasa, 13 Desember 2016

Karl Marx dan Traktat Ekonomi Sosial

Karl Marx dan Traktat Ekonomi Sosialis

Oleh:Muhammad Muhibbuddin*



…………….Imagine no possesion/I wonder if you can/ No need for greed or hunger/ A brotherhood of man/ Imagine all the people sharing all the world/…………..and the world may live as one ( John Lennon)



Dialektika dan dinamika sistem ekonomi dunia, pada tingkat ketegangannya yang paling tinggi, adalah terjadi antara aliran libralis-kapitalis versus sosialis-komunis. Maenstream dua sistem perekonomian tersebut, pada umumnya merujuk pada dua tokoh besar yakni Adam Smith sebagai representasi dari aliran pertama, dan Karl Marx sebagai representasi dari yang kedua.

Kedua sistem ekonomi tersebut telah menancapkan sebuah fakta dalam proses sejarah manusia dan sekarang mengental menjadi “rezim” peradaban. Seluruh wacana, diskursus dan perspektif ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ekonomi politik, selalu melibatkan atau bahkan merujuk pada dua aliran di atas. Sehingga dunia seolah hanya disodori oleh dua tawaran:liberalis atau sosialis, komunis atau kapitalis, kanan atau kiri dan seterusnya.

Khusus dalam dunia ekonomi, arus utama dari sistem nilai atau paradigma yang mendominiasi sebagai dasar operasional berjalanya aktifitas ekonomi global adalah dua aliran tersebut. Sistem ekonomi dengan segala macam derivasi, modifikasi dan cabang-cabangnya adalah fenomena sosial yang berada dalam koridor liberalisme vis a vis sosialisme. Bahkan meskipun sekarang, khususnya di Indonesia, sedang berkembang sistem ekonomi Islam atau ekonomi Syari’ah, namun ketika diselidiki lebih mendalam, ternyata di dalamnya juga sangat kapitalis. Bahkan bank Syari’ah yang selama ini sedang menggejala ditengarai lebih kapitalis daripada bank konvensional. Dengan melihat sistem operasional bank Syari’ah tersebut, istilah Islam sebagai jalan alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, yang sering dilontarkan oleh aktifis-aktifis Islam kanan, hanya sebatas jargon. Dalam realitas empiriknya, sistem ini tetap merupakan modifikasi dari sistem kapitalis. Hanya saja pola managemennya lebih dilabeli dengan istilah Islam atau Syari’ah.

Sepanjang sejarahnya, kedua sistem ekonomi di atas, masing-masing berusaha untuk mendominasi dunia. Baik liberalisme maupun komunisme oleh para pengagumnya dipercayai sebagai “mantera” atau “agama” yang paling tepat untuk membangun dunia. Kedua aliran tersebut mempunyai landasan etis yang di dalamnya masing-masing menawarkan mimpi-mimpi kesejahteraan dan kemakmuran. Hanya saja tipe dan dasar operasionalnya berbeda.

Bagi liberalisme, untuk menciptakan kemakmuran, maka sebagai prasyaratnya harus diciptakan ruang kebebasan bagi para indifidu untuk menentukan dan mengejar kepentingan ekonomi. Pola semacam ini mengandaikan adanya sistem kompetensi yang tinggi. Sehingga konsekuensinya, bagi mereka yang kuat yang berhak memenangkan pertarungan. Sementara bagi mereka yang lemah, harus bersedia menyingkir dari percaturan ekonomi-politik dunia.

Pertarungan ternyata, sekarang dimenangkan oleh kubu liberal-kapitalis. Maka,muncullah yang namanya sistem kelas. Dalam sistem ini, negara, regulasi, sistem perundang-undangan dilarang keras untuk melakukan intervensi, melainkan harus membuka jalan seluas-luasnya demi terimpelementasikannya sistem tersebut.

Sebaliknya, traktat ekonomi sosialis percaya bahwa untuk menciptakan kemakmuran, maka segala potensi alam harus dibagi sama rata, sama rasa. Indifidu tidak mempunyai kebebasan untuk memiliki atau apalagi mengakumulasi modal. Sistem penyamarataan ini, bagi sekte sosialis, dirasa sangat adil. Karena di dalamnya tidak ada lagi kelas sosial:kaya miskin, juragan-buruh, majikan-jongos, pimpinan- karyawan dan sebagainya.

Marx dan Ekonomi Sosialis


B.1. Riwayat singkat Marx (Lahir, karir dan akhir)



Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier atau Traves, Jerman. Ia terbilang dari keluarga terpandang. Ayahnya Hinrich Marx adalah seorang yang berdarah Yahudi yang menjadi pengacara di Traves, sementara ibunya juga berdarah Yahudi adalah putri pendeta Belanda. Sejak kecil ia sudah pernah mengalami pergolakan keagamaan yang dahsyat. Sejak berusia 6 tahun, seluruh keluarganya berpindah agama (converse) dari Yahudi ke Kristen Protestan. Perpindahan agama ini sudah barang tentu merubah dasar keyakinan dan keberagamaan Marx. Maka dari itu, peristiwa converse ini merupakan salah satu persitiwa yang sangat membekas di hati Marx dan mempengaruhi perjalanan hidup Marx selanjutnya.

Sejak usia 17 tahun, tepatnya tahun 1835 Marx masuk Gymnasium (sebuah sekolah menegah) di Traves. Sehabis lulus dari Gymnasium Marx melanjutkan kuliah di universitas Bonn dengan mengambil fakultas hukum. Tapi karena studi Marx di sini lebih disebabkan oleh paksaan orang tuanya, maka Marx hanya bisa bertahan satu tahun. Selepas dari Bonn Marx akhirnya masuk ke Universitas Berlin dengan konsentrasi mempelajari filsafat dan sejarah. Rupanya disiplin ini yang dia cita-citakan semula. Maka di Universitas Berlin inilah ia mulai membangun basis intelektualnya yang akhirnya menjadi filsof besar. Di universitas inilah ia juga ikut Young Hegelian Club hingga mempertemukan dia dengan tokoh seniornya Feuearbach.pendidikannya ini ia akhiri ketika dia, dalam usia 23 berhasil memperoleh memeproleh gelar doktor dengan desertasi The Diffrent between natural phillosopy of Democritos and Epicurus, dari universitas Jena.

Dalam karirnya Marx termasuk orang yang terseok-seok. Awal mulanya ia berkeinginan meniti karis sebagai dosen, tetapi gagal karena disebabkan oleh pemikirannya yang radikal dan tidak pernah mau kompromi dengan status quo. Gagal menjadi dosen akhirnya ia terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di koran Rhenissche Zeitung(Rhine Gazete). Pada tahun 1842 Marx diangkat menjadi redaktur koran ini. Karena kritinya yang sangat keras terhadap pemerintah, maka majalah ini akhirnya dibredel dan Marx diusir dari negerinya hingga akhirnya Marx pindah ke Paris bersama Arnold Ruge. Di Paris inilah jiwa dan semangat sosialismenya mulai tumbuh. Karena Paris pada waktu itu menjadi pusat pelarian para tokoh-tokoh sosialis dunia. Di paris ini pula ia bertemu dengan kawan sejatinya, Freidrick Angels—seorang anggota sosialis dari London—yang nantinya menjadi tulang punggung keluarga Marx dalam hal membiayai kehidupan.
Tahun 1847 Marx bersama Engels menulis buku yang berjudul La Misere de la Philoshopie (the poverty of philoshopy) sebagai kritik terhadap Piere Joseph Prudon yang dianggapnya kurang revoluisoner dan tidak membrikan gambaran prosepk yang jelas terhadap masa depan kaum buruh. Kemuidan di tahun yang sama ia juga menerbitkan buku Die Deutsche Idiologie (the German Idiology) yang juga dikerjakan dengan Engels. Di buku inilah ia sesungguhnya telah meletakkan dasar historis materialismenya. Kemudian tahun 1845 bersama Engels, Marx membuat Liga komunis (Communist League) di Brussel. Liga ini yang konon menjadi wadah perjuangan gerakan pekerja internasional. Karir Marx diakhiri dengan posisinya dia sebagai penulis buku tentang ekonomi-politik yang menggugat sistem ekonomi kapitalis. Hidupnya termasuk tragis. Anak –anaknya banyak yang mati karena kelaparan dan bunuh diri. Istrinya sendiri, Jenny van Whestpallen, meninggal karena sakit tanpa pengobatan yang memadahi. Marx tidak bisa ikut mengantarkan ke pemakaman istrinya karena dia sendiri, pada waktu itu sakit. Marx meninggal di ruang belajarnya pada 14 Maret 1883.


B.2. Latar kultural dan historis lahirnya ekonomi sosialis Marx.


Eropa baru saja menyelesaikan pertentangannya antara kekuatan kapitalisme yang baru lahir dengan rezim feodalisme. Sebelumnya, sejarah masyarakat Eropa lebih didominasi oleh kaum bangsawan dan feodal. Kelas masyarakat inilah yang telah lama mencengkramkan kuku penjajahannya pada masyarakat bawah. Namun, sejarah ternyata berubah. Setelah sekian lama berada dalam cengkraman kaum feodal, maka lahirlah kekuatan baru yakni kaum kapitalis yang berusaha meruntuhkan otoritarianisme kaum feodal. Hal ini ditandai dengan lahirnya Renaissance di Eropa. Lahirnya era ini menandai lepasnya masyarakat dari era kegelapan yang lebih didominasi oleh kaum bangsawan –feodal.

Era pencerahan membawa Eropa ke dalam sebuah peralihan dari kaum feodal ke kaum kapital. Hal ini dipicu dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johan Guttenberg pada abad ke 15 M. Hadirnya mesin cetak ini mampu merubah kondisi sosial-budaya masyarakat Eropa pada waktu itu. Hal ini terutama dalam hal produksi. Oleh mesin cetak ini, produksi buku akhirnya bisa dilakukan secara massal. Sebelumnya, proes produksi buku atau tulisan lebih bersifat manual. Tehnik ini dilakukan dengan menggunakan tangan atau menulis di atas batu (litografi). Pola manual semacam ini jelas sangat melelahakn dan jelas tidak efektif untuk meningkatkan produksi tulisan.

Semakin mudah orang mencetak buku secara massal, gairah untuk menulis juga meningkat. Namun, bagi masyarakat awam mereka menyimpan tulisannya untuk dirinya sendiri. Hanya para bangsawan yang mampu mencetak tulisannya. Karena biaya atau ongkos untuk cetak sangat mahal. Namun yang harus diketahui adalah bahwa ditemukannya mesin cetak ini merupakan fenomena revolusioner yang mampu mendobrak kebuntuan produksi selama berabad-abad. Mesin cetak ini merupakan faktor utama terjadinya akselerasi dan peningkatan produksi buku dan bacaan. Fenomena ini berimplikasi pada lahirnya era keterbukaan komunikasi. Dengan banyakanya kuantitas buku yang dicetak, masing-masing orang terpicu untuk saling tukar ide dn pikiran. Maraknya diskusi dan pertukaran ide ini ternyata membawa akibat fatal terhadap rezim bangsawan. Derasnya wacana dan pertukaran ide membuat budaya kritis masyarakat semakin terasah sehingga mampu membongkar segala macam kebusukan dan kebobrokan rezim bangsawan atau kaum feodal sekaligus meruntuhkan mitos surgawi yang diwartakan para raja.

Revolusi teknologi itulah yang akhirnya menjadi titik tolak terjadinya perubahan-perubahan besar di masyarakat. Fakta yang paling jelas sebagai konsekuensi munculnya revolusi teknolgi ini melahirkan apa yang dinamakan dengan Engels Revolusi industri. Hal ini, dalam bidang ekonomi berarti, telah terjadi perubahan mendasar dari sistem pertanian ke sistem perindustrian. Ketika revolusi industri lahir, maka fenomena ini diikuti dengan lahirnya revolusi sosial. Salah satunya adalah terjadinya revolusi Perancis.
Bagi Gracchu Babeuf, revolusi Perancis adalah pelopor revolusi lainnya, revolusi yang lebih cemerlang menjadi revolusi terakhir.Dalam revolusi sosial ini, pihak yang menjadi aktor utamanya adalah kelas sosial baru yakni kaum borjuis atau kapitalis. Dengan hadirnya revolusi sosial ini, sistem feodal mulai runtuh dan kehilangan legitimasinya di mata masyarakat dan digantikan oleh sistem kapitalis. Namun, yang perlu diketahui juga, bahwa peralihan dari feodalisme ke kapitalisme ini tidak sepenuhnya diwarnai dengan revolusi. Negara-negara di Eropa pada waktu itu mempunyai caranya tersendiri yang berbeda. Di Inggirs misalnya, peralihan ini lebih didukung oleh hasil kerja sama antara kelas feodal dengan kelas borjuis atau kapital.

Ketika sistem feodal tergantikan oleh sistem kapital, bukan berarti sebuah masalah selesai. Namun di sinilah justru muncul problematika baru. Budaya penindasan yang awalnya didominasi oleh kaum feodal kini tergantikan oleh kaum kapital. Dari sinilah akhirnya kaum buruh Eropa sadar, bahwa dengan berkaca pada evolusi Perancis, gerakan revolusi mereka ternyata hanya ditunggangi oleh kaum borjuis untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Setelah kekuasaan berada di tangannya, kaum borjuis ini segera menunjukkan taring dan kuku-kuku tajamnya. Mereka ganti melakukan borjuasi baru seperti yang dilakukan oleh seniornya, kaum feodal. Sistem penindasan dan borjuasi itu terlihat dengan pemerasan tenaga para buruh di pabrik-pabrik mereka.

Kondisi pekerja amat memprihatinkan, sementara upah buruh sangat rendah. Pemandangan yang tak manusiawi ini merupakan kondisi sehari-hari di tengah masyarakat Eropa waktu itu. Teknologi baru yang ditemukan itu, bukannya meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, tetapi justru memerangkap kehidupan kaum buruh ke dalam peniondasan yang lebih kejam.sebab, pada akhirnya, penemuan teknologi ini akhirnya dijadikan oleh kaum borjuis untuk menekan para buruh. Hadirnya teknologi ini menajdikan para kapitalis bebas melakukan tawar menawar kepada buruh. Dengan bantuan teknologi itu, mereka mampu menggerakkan pabriknya tanpa memerlukan tenaga manusia yang banyak.

Rupanya hal itulah yang dijadikan senjata para borju untuk meneror buruh. Para borju itu seolah berkata kalau pabrik yang dioperasikan tidak begitu membutuhkan tenaga buruh yang banyak karena sudah mempunyai alat-alat teknologi untuk produksi, maka para buruhlah yang harus membutuhkan pabrik karena mereka butuh pekerjaan. Kondisi buruh yang terhimpit dan terintimidasi ini membuat para juragan semakin seenaknya sendiri terhadap buruh. Mereka menggaji murah para buruh, melakukan PHK sesuakanya dengan alasan tidak dibutuhkan tenaga dan sebagainya. PHK ini menjatuhkan daya tawar kaum buruh di hadapan para majikan dengan berprinsip pada teori Adam Smith.

Fenomena penindasan terhadap kaum buruh oleh kaum borjuis inilah yang menegaskan Marx sebagai orang sosialis. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan kritik-kritiknya terhadap kaum borjuis dan kecamannya terhadap para tokoh atau pemikir yang cenderung idealisme atau religius. Sebagai seorang penulis handal, Marx mengutuk para penulis liberal yang memfokuskan dirinya untuk usaha propaganda menangkal ateisme. Marx berpendapat bahwa tenaga atau pikiran harus ditujukan pada hal-hal yang konkrit, yang berkaitan erat dengan kondisi berat para buruh.

Senin, 12 Desember 2016

Esensi Manusia Menurut Filsafat dan Tasawuf

Jean Paul Sartre, seorang filsuf Prancis yang pernah mengungkapkan konsep tentang manusia. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas. Bebaslah yang membedakan manusia dari apapun yang diciptakan Tuhan. Kata bebas menjadikan manusia sebagai yang khusus dan amat istimewa. Yang mana dari kata bebas ini, lahirlah konsep bahwa manusia didahului dengan eksistensi, lalu esensi. Berbeda dengan benda yang didahului oleh esensi, lalu eksistensi.

Sebutlah salah satu benda untuk kita jadikan contoh, misal : pena. Sebuah benda dikatakan didahului oleh esensi karena sebelum secara eksis pena tercipta, lebih dulu sebuah pena tercipta esensinya dan berada di dalam benak manusia yang menciptakan pena pertama kali. Sebelum sebuah pena terbentuk secara nyata, bentuk pena, warna, dan ukuran serta kegunaan pena sudah tercipta lebih dulu di dalam benak penciptanya. Karena kegunaan, warna, ukuran, dan wujud merupakan penjelasan dari sebuah pena, maka pantaslah jika itu dikatakan sebagai esensi dari pena itu. Maka jelas sudah, bahwa pena didahului dengan esensi, hingga kemudian pena tersebut eksis di dunia ini setelah penciptanya membuatnya.

Sesuatu yang sudah ditentukan pertama kali sebagai apa, ketika hadir ia tidak akan menjadi apa-apa, selain sebagai apa ia ditentukan pertama kali. Sebagaimana sebuah pena, yang sudah ditentukan sebagai pena. Bagaimana mungkin pena mampu membuat dirinya tidak sebagai pena? Jika manusia yang menggunakan pena menjadi bukan pena, yang melakukan itu adalah manusia dan bukan penanya. Karena si pena, tetaplah sebagai pena.

Yang demikian ini berbeda dengan keadaan manusia. Sebagai yang eksistensinya lebih dulu, manusia sadar akan dirinya sendiri. Eksisnya ia membuat ia memiliki perjalanan untuk menemukan esensi dirinya. Manusia tercipta tanpa ada yang pernah merencanakan sebelumnya. Disini, marilah kita merasuk ke dalam pemikiran Sartre sebagai non muslim. Maka, mari sedikit kita berfikir melalui penglihatannya. Ketika seorang ayah dan ibu hendak memiliki anak, ia tidak sedang membuat manusia untuk menjadi bagaimana, tapi mereka hanya melakukan planning. Sebatas planning dan selebihnya mereka menyerahkan kejadian  anak mereka kepada Tuhan. Ini jelas berbeda dengan bagaimana manusia menciptakan sebuah benda. Maka ketika manusia ada, ia telah eksis tanpa esensi. Kekosongan dirinya dari esensi ini yang membuat manusia bisa bergerak, berfikir, merasa, dan sadar. Kekosongan dirinya dari esensi membuat manusia harus menemukan esensinya, dan hidup adalah jalan dan cara untuk itu.

Kemampuan manusia untuk bergerak, berfikir, merasa, dan sadar inilah yang menjadi sebuah petunjuk dasar bahwa manusia memiliki kebebasan. Kebebasan manusia ada ketika mereka memiliki kemampuan itu. Sehingga, ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, ia memiliki kebebasan. Ia bebas menentukan dirinya akan menjadi apa nanti. Ia bebas melakukan apapun. Ia bebas menjadi apapun. Dan sebagai yang bebas melakukan apapun, manusia juga mendapat kemungkinan untuk mendapat ganjaran apapun. Karena, sebab takkan bisa berdiri sendiri tanpa akibat.

Sementara esensi seorang manusia itu bukanlah profesinya, apa yang ia lakukan, dan bagaimana dia. Itu semua sebatas identitas dirinya. Sebagaimana sebuah benda yang esensinya merupakan penjelasan yang membuat benda tersebut menjadi berbeda dengan benda atau apapun lainnya. Esensi dapat dikatakan sebagai penjelasan dari sesuatu yang membuat sesuatu itu jelas karena perbedaan ia dengan lainnya terungkap. Lalu apa esensi manusia itu?

Sartre mengatakan bahwa antara manusia, apa yang ia lakukan, juga apa yang ia rasakan terdapat jarak. Jarak ini yang membuat manusia bukanlah apa yang ia lakukan juga bukan apa yang ia rasakan. Manusia adalah subjek yang justru menggunakan itu semua sebagai sarana pencarian dia akan esensinya.

Untuk menemukan apa sebenarnya esensi manusia, adalah dengan memperhatikan keadaan para benda. Jika kita lihat, benda-benda sebagai yang telah mendapatkan esensinya sebagai apa, mereka menjadi demikian. Memiliki fungsi, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Berhenti karena sudah menemukan apa yang seharusnya ia cari. Benda tampak teronggok begitu saja, dan tidak merasa apa-apa. Mereka terhenti dan diam, bahkan tidak hidup adalah karena mereka sudah tidak memerlukan sadar, fikir, gerak, dan rasa lagi, sebab mereka sudah mendapatkan esensinya.

Dalam tasawwuf, tujuan seorang manusia adalah mencari ridha Allah SWT. Yang mana untuk mendapatkan ridho ini, seorang manusia harus mendekatkan dirinya kepada Allah dengan jalan beribadah. Pendekatan diri ini dilakukan untuk mengembalikan dirinya sendiri kepada Allah, baik dalam keadaan hidup ataupun jika mati nanti. Dalam tasawwuf esensi atau hakikat diri sudah jelas, sehingga manusia tidak perlu menemukan lagi esensi dirinya, seperti yang Sartre lakukan. Esensi diri manusia adalah Allah SWT. Manusia mendapatkan bekal sadar, fikir, rasa, dan gerak untuk menemukan hakikat dirinya itu, yakni untuk kembali lagi ke Allah karena ia berasal dari Allah.

Dan dalam keadaan telah kembali kepada Allah inilah manusia tampak serupa dengan para benda. Seorang yang telah mencapai makrifatullah (mengenal Allah), seorang itu tidak lagi mampu merasakan apapun baik sedih, senang, atau apapun karena yang ia rasakan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi memikirkan apapun, karena yang ia pikirkan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi sadar akan apapun, karena ia hanya sadar akan Allah. Dan seorang itu tidak perlu lagi bergerak, karena untuk apa bergerak atau hidup jika sudah merasakan Allah. Tidak ada lagi ketertarikan pada apapun dan untuk apapun. Manusia sudah bagai benda, bebas dari segala keduniawian yang ada bersamanya sebelumnya.

Dan keistimewaan Islam sebagai agama yang sempurna ini, adalah dengan tidak terhentinya hal itu sampai pada manusia sebagai benda. Namun juga sampai pada tiada lagi jarak antara manusia dengan Allah SWT. Manusia akan hilang dan tidak lagi memiliki keberadaan, seutuhnya tiada dan kembali kepada Allah seluruhnya.

Materialisme Dialektik

Apa yang kawan-kawan ketahui tentang Materialisme Dialektika Historis? Sebuah filsafat hidup ataukan sebuah ilmu? Sebuah konsep hidup yang njelimetkah ia? Ataukah sebuah rangkaian nilai yang sama seperti nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarkat?

Materialisme dialektika historis (MDH) adalah sebuah aliran filasafat. Kawan-kawan tak perlu alergi dengan kata filsafat, sebab biasanya kata filsafat sering diidentikkan dengan sebuah proses berpikir yang sulit, melelahkan, panjang dan seringkali menjemukan. Padahal sebenarnya tidaklah demikian adanya. Filsafat adalah sesuatu yang dekat dengan kita. Di samping ia merupakan disiplin ilmu tertua yang ada di dunia, ia merupakan sesuatu yang dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sedekat mata dan bulunya. Sebab ia-lah yang menentukan cara berpikir kita. Setelah kita berpikir tentang sesuatu, dari hasil pikiran itulah kita nantinya bertindak. Tentu langkah demikian standard umum bagi mereka yang mengaku waras otaknya. Cara berpikir inilah yang sebenarnya menentukan kebenaran atau kesalahan kita dalam bertindak dan juga menentukan sebuah keberhasilan atau kegagalan yang akan kita petik nantinya. Pernahkah kawan-kawan berpikir sejenak bahwa cara berpikir itu bisa salah? Inilah alasan kenapa perlu sebuah metode berpikir yang tepat, akurat, solutif, dan jelas terhadap setiap permasalahan yang kita hadapi. Dan metode berpikir seperti tersebut, sampai kini, bernama Materialisme dialektika historis (MDH).

  MDH adalah serangkaian nilai filsafat, pandangan hidup, dan cara berpikir yang diciptakan oleh Marx yang berkolaborasi dengan Engels dalam meramu filsafat Hegel yang dialektiks-idealis dan filsafat Feuerbach yang materialis-idealis. Untuk diskusi saat ini, kita tunda dulu tema sejarah filsafatnya. Sebab tema ini cukup panjang untuk didiskusikan. Filsafat ini disebut materialisme dialektik karena cara-caranya dalam mendekati, membaca, mempelajari dan memahami gejala-gejala alam menggunakan pendekatan dialektis. Sementara disebut materialis karena tafsiran mengenai gejala-gejala alam, pemahaman peristiwa, dan teorinya berdasarkan landasan-landasan yang material.

Kata dialektika (dialectics) berasal dari Yunani, dialego, yang berarti berbicara atau berdialog. Di jaman dulu, dielektika adalah salah satu cara mencapai suatu kebenaran dengan cara mengkontradiksikan sebuah pernyataan dengan pernyataan yang berlawanan. Dengan mengatasi dua pernyataan yang berlawanan inilah sebuah kebenaran akan didapatkan. Dan cara berpikir dialektis ini kemudian dikembangkan dalam upaya menganalisa gejala-gejala alam, dengan cara pandang bahwa (a) alam selalu bergerak, (b) perkembangannya sebagai sebuah hasil kontradiksi yang terjadi, dan (c) saling mempengaruhi satu gejala dengan kejadian yang lain.

Prinsip metode berpikir dialiktika adalah sebagai berikut:

Pertama, segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini tidak berdiri sendiri, ia berhubungan, saling bergantung, dan ditentukan oleh faktor-faktor lainnya. Sesuatu tidak akan dapat dimengerti secara utuh dan menyeluruh bila tidak dipahami juga hubungan-hubungannya dengan unsur-unsur dan kondisi-kondisi lain di sekitanya. Artinya, untuk mengerti sebuah peristiwa maka perlu dan harus mengerti pula apa-apa yang ada dan terjadi di sekitar peristiwa tersebut.

Kedua, segala sesuatu selalu mengalami pergerakan dan perubahan dalam perjalanan waktunya. Tidak ada sesuatu yang statis. Semuanya bergerak dan berubah. Metode dialektika mengharuskan juga sebuah pemahaman tentang pergerakan, perubahan, kelahiran dan kemusnahan sesuatu.

Ketiga, perubahan dan perkembangan yang terjadi melalui sebuah proses perubahan kuantitatif yang akan beralih pada perubahan dan perkembangan kualitatif. Dan perkembangan kualitatif ini bukanlah satu perkembangan yang kebetulan terjadi namun sebagai sebuah keniscayaan dari prubahan-perubahan kuantitatif. Kalau digambarkan dalam sebuah diagram, maka arah perkembangan kualitatif adalah arah yang terus bergerak ke depan dan ke atas. Dan bukan sebagai sebuah analogi roda yang berputar.

Keempat, dalam dirinya sendiri, setiap benda atau gejala alam memiliki kontradiksi-kontradiksi yang saling bertentangan. Ada ion positif ada negatif, ada yang sekarat ada yang terlahir, masa lalu—masa kini. Dan kontradiksi inilah yang menjadi inti dan memacu adanya perkembangan kuantitatif kepada perkembangan kualitatif. Dan sudah tentu tercapainya sebuah perubahan dan perkembangan kualitatif merupakan sebuah hasil dari sebuah perjuangan oleh pihak yang saling berkontradiksi.

Makanya, Lenin menyatakan bahwa dialektika merupakan studi tentang kontradiksi di dalam hakikat benda-benda itu sendiri. Dan perkembangan adalah perjuangan daripada pertentangan.

Kenapa kita perlu dan harus mempelajari sejarah? Karena kita harus merubah dan hanya manusialah yang memiliki sejarah. Segala, mulai dari tubuh kita sendiri hingga teknologi,  yang telah dicapai, dirasakan dan terjadi saat ini merupakan anak turunan dari masa lalu yang berjalan dan berkembangan secara dialektis. Pengertian dan pemahaman yang mendalam tentang sejarah masyarakat, maka akan dengan mudah kita akan menyimpulkan bahwa revolusi sosial adalah sebuah keniscayaan sejarah. Sejarah masyarakat berawal dari komune primitif, berubah menjadi jaman perbudakan, dilanjutkan jaman feodalisme, digusur oleh jaman kapitalis, dan akan diakhiri oleh jaman sosialisme. Inilah rentetan sejarah peradaban manusia seperti yang digambarkan Marx. Di sinilah pentingnya pelibatan ilmu sejarah dalam menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang dialami oleh manusia.

Dalam konsep materialisme ada beberapa poin penting;

Pertama, bahwa sifat dari segala dunia dan isinya adalah material. Artinya tidak ada dan tidak akan pernah ada yang namanya Nyai Roro Kidul dalam kamus metode berpikir ini.

Kedua, bukanlah kesadaran manusia yang menentukan keadaanya, sebaliknya, kondisi materiallah yang menetukan kesadaran manusia. Bukan Nyai Roro Kidul terlebih dahulu yang masuk dalam pikiran kita, tetapi keganasan ombak samudra yang belum bisa ditaklukkan dengan kapal tanker yang melahirkan mitos dan mimpi tantang ratu itu. Jadi, kondisi materiallah yang menjadi bahan primer, kesadaran adalah tahapan selanjutnya dalam kesadaran manusia.

Ketiga, bahwa dunia dan hukum-hukum alamnya bisa diketahui berdasarkan kebenaran objektif. Memang masih belum seluruhnya benda dan hukum-hukumnya disingkap, tetapi bukan mustahil kita bisa mengurai matahari dengan ketetapan dan akurasi yang tinggi.

Ekonomi Kerakyatan

Pengertian ekonomi kerakyatan – Yang dimaksud ekonomi kerakyatan adalah sistem perekonomian yang di mana pelaksanaan kegiatan, pengawasannya, dan hasil dari kegiatan ekonomi dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

A. Penjelasan lain tentang ekonomi kerakyatan

Atau definisi ekonomi kerakyatan yang lainnya adalah suatu sistem perekonomian yang dibangun pada kekuatan ekonomi rakyat, ekonomi kerakyatan yaitu kegiatan dari ekonomi yang dapat memberikan kesempatan yang luas untuk masyarakat dalam berpartisipasi sehingga perekonomian dapat terlaksana dan berkembang secara baik.

B. Berikut ini ciri-ciri sistem ekonomi kerakyatan

Ciri dari sistem ekonomi kerakyatan diantaranya seperti dibawah ini:

Yang menguasai kebutuhan hidup masyarakat adalah negara atau pemerintah negara tersbut. Misalnya seperti: bahan bakar minyak, air dan sumber daya alam yang lainnya.Peran negara di ekonomi ini sangatlah penting akan tetapi tidak dominan, dan begitu juga perana dari pihak swasta yang posisinya memang penting akan tetapi tidak mendominasi juga. Sehingga tidak mungkin terjadi kondisi sistem ekonomi liberal ataupun sistem ekonomi komando. Kedua pihak tersebut yaitu pemerintah dan juga pihak swasta hidup berdampingan secara damai dan saling men-support satu sama lain.Di dalam perekonomian ini masyarakat adalah bagian yang sangat penting,  karena kegiatan produksi yang dilakukan, diawasi dan dipimpin oleh anggota masyarakat.Buruh maupun modal tidak mendominasi perekonomian sebab ekonomi ini didasari atas asas kekeluargaan.



apaitu ekonomi kerakyatan?

C. Lalu inilah tujuan ekonomi kerakyatan

Adapun tujuan dari ekonomi kerakyatan, diantaranya seperti di bawah ini:

Untuk membangun negara yang berdikari secara ekonomi, yang berdaulat secara politik, serta memiliki berkepribadian yang berkebudayaan.Untuk mendorong pemerataan pendapatan masyarakat.Dapat mendorong pertumbuhan perekonomian yang berkesinambungan.Dan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian nasional.Dan berikut ini kelebihan dan kelemahan sistem ekonomi kerakyatan

D. Inilah beberapa kelebihan dari sistem ekonomi kerakyatan:

Rakyat yang kurang mampu bisa mendapatkan perlakuan hukum yang sama atau secara adil dalam masalah perekonomian.Dapat memberikan perhatian yang lebih pada rakyat kecil melalui berbagai macam program operasional yang nyata.Sistem ekonomi ini dapat mewujudkan kedaulatan rakyat.Dapat merangsang kegiatan ekonomi yang lebih  produktif di tingkat rakyat sekaligus dapat melahirkan jiwa kewirausahaan.Transaksi antara produksi, distribusi dan konsumsi sangat baik.Hubungan antara produksi, distribusi dan juga konsumsi akan saling membutuhkan dan sangat baik.

E. Dimana ada kelebihan pasti ada juga kelemahan atau kekurangannya, berikut ini kelemahan dari sistem ekonomi kerakyatan:

Dalam ekonomi ini akan terjadi praktek membagi-bagi uang kepada rakyat, peraktek ini sangat tidak menguntungkan bagi pihak manapun, termasuk rakyat itu sendiri.Aksi membagi-bagi uang  ini secara tidak sadar dapat menyebabkan usaha mikro atau kecil dan menengah serta koperasi yang selama ini tidak berdaya dapat bersaing dalam suatu mekanisme pasar, bias menjadi sangat bergantung pada aksi tersebut.Masih kurangnya pengetahuan rakyat mengenai Investasi, akibatnya dapat menyebabkan kemiskinan terlalu lama atau perputaran roda yang lambat.Kurangnya penerapan dari manajemen.Tidak adanya dukungan yang optimal dari pemerintah, meskipun peran pemerintah sangat penting tapi tidak dominan.Harus di awasi, jika tidak diawasi dengan baik akan banyak koruptor.

Demikian artikel yang membahas tentang pengertian ekonomi kerakyatan, dan semoga pembahasan ini dapat bermanfaat…

Kolom Puisi

Jendral Tua di Pulau Pengasingan

Pernahkah bertanya mengapa ia terasingkan?
Ia dulu jendral pendiri sebuah negeri
Negeri yg penuh dengan kekeluargaan
Negeri yg penuh dengan gelas2
Negeri yg penuh dengan manik2
Kini ia hanya di sebuah pulau
Tanpa keluarga
Apalagi serigala yg dulu mengawalnya
Hidupnya makin tak karuan
Rambutnya tak pernah tersisir
Kegagahan nya hilang bagai ia bukan seorang jendral
Ia hidup dalam pengasingan
Bukan karena ia ceroboh
Dusta?
Ia jendral jujur
Dengan sedikit tetesan kesalahan di gelasnya
Ia terasingkan oleh generasi negerinya
Generasi yg lupa pada pendiri negerinya
Generasi yg tak tau jati dirinya
Generasi yg mulai hidup dalam lampu2
Dan mulai menggunakan api dalam gelasnya.
Disana ia terbaring lemas
Ya setengah badan nya menutupi pulau tersebut
Pulau yg jauh dari negeri yg ia bangun
Yg gelap di siang hari
Dan sang jendral pun menemui ajalnya .

Asep Darmawan
Jogjakarta


ANJING

Sehina itukah aku dimata manusia?
Memandangku sebagai segala keburukan
Segala kekotoran dan menjijikan
Dan pada namaku tersemat dosa dan nista

Aku Anjing
Dan tak pernah menjadi selain anjing
Bukankah aku hanya menjalankan titah?
Perintah Tuhan yg tak pernah aku bantah
Liur dan lidah ini adalah mandat
Tapi aku bukan makhluk penjilat

Aku Anjing
Dan tak pernah menjadi selain anjing
Najisnya tubuhku upaya rendah hatiku
Linangan liur dan juluran lidahku adalah tangisan dan dzikirku
Bukankah ini puncak keikhlasan
Yg ku sujudkan pada Tuhanku?

Aku Anjing
Dan tak ingin menjadi manusia
Betapa sulitnya kubayangkan menjadi mereka
Dilenakan sebuah karunia
Kehebatan akal yg tak seberapa
Mereka adikuasa dan jumawa .
Mereka diperbudak angkara murka
Menguasai bumi dan seisinya
Memburu sesuatu yg tak abadi
Tanpa ada kerinduan pada yg Sejati

Oh manusia ?
Betapa keringnya hidup mereka

M Yasien Arif

Marhaenisme

soekarnoMarhaenisme diambil dari nama Marhaen yang merupakan sosok petani miskin yang ditemui Sukarno. Kondisi prihatin yang dialami seorang petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bagi Sukarno untuk mengadopsi gagasan tentang kaum proletar yang khas Marxisme. Belum diketahui dengan pasti – sebab Sukarno hanya menceritakan pertemuannya saja – kapan pertemuan dengan petani itu belangsung. Sehingga banyak pihak yang mempertanyakan, benarkah ada pertemuan itu? Ataukah pertemuan itu hanya rekaan Sukarno saja? Belum ada jawaban pasti.
Namun dalam Penyambung Lidah Rakyat (Cindy Adams) ia bercerita mengenai pertemuan itu terjadi di Bandung selatan yang daerah persawahannya terhampar luas. Ia menemui seorang petani yang menggarap sawahnya dan menanyakan kepemilikan dan hasil dari sawah itu. Yang ia temukan adalah bahwa walaupun sawah, bajak, cangkul adalah kepunyaan sendiri dan ia mengejakannya sendiri hasil yang didapat tidak pernah mencukupi untuk istri dan keempat anaknya. Petani itu bernama Marhaen.Namun, yang jelas, Sukarno mengembangkan gagasan sentral Marhaenisme jelas-jelas bersumber pada Marxisme. Bahkan, banyak yang menyatakan bahwa Marhaenisme merupakan Marxisme yang diterapkan di Indonesia.
Sejak 1932, ideologi Marhaenisme telah mewarnai wacana politik di Indonesia. Pada 4 July 1927 ia mendirikan PNI dimana Marhaenisme menjadi asas dan ideologi partai di tahun 1930-an. Dalam bukunya berjudul Indonesia Menggugat, Sukarno sangat menekankan pentingnya penggalangan massa untuk sebuah gerakan ideologis. Menurut penafsiran Sutan Syahrir, Marhaenisme sangat jelas menekankan pengumpulan massa dalam jumlah besar. Untuk ini, dibutuhkan dua prinsip gerakan yang kelak dapat dijadikan pedoman dalam sepak-terjang kaum Marhaenis. Ditemukanlah dua prinsip Marhaenisme, yakni sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Untuk menjelaskan kedua prinsip itu, Sukarno telah mengadopsi pemikiran dari Jean Jaurhs (sosialis) dari Perancis dan Karl Kautsky (komunis) dari Jerman. Ajaran Jaurhs yang melawan sistem demokrasi parlementer digunakan oleh Sukarno untuk mengembangkan sikap para Marhaenis yang wajib taat pada pemimpin revolusi, tanpa boleh banyak tanya soal-soal yang pelik dalam bidang politik.
Sedangkan dari Karl Kautsky, Sukarno makin dalam mendapatkan keyakinan bahwa demokrasi parlementer merupakan sistem masyarakat borjuis yang tidak mengenal kasihan pada kaum yang miskin. Bahkan didalam bukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”, Sukarno benar-benar terpengaruh oleh Kautsky, dengan menyatakan bahwa seseorang tidak perlu untuk menjadi komunis jika hanya ingin mencermati demokrasi sebagai benar-benar produk masyarakat borjuis.
Selanjutnya Sukarno menyatakan bahwa setiap Marhaenis harus menjadi revolusioner sosial, bukan revolusioner borjuis, dan sosok itu dijuluki Sukarno sebagai sosio-nasionalisme atau nasionalisme marhaenis. Namun, pada 26 November 1932 di Yogyakarta, Sukarno menandaskan bahwa Partai Indonesia dimana ia berkumpul, tidak menginginkan adanya pertarungan kelas. Disini jelas Sukarno memperlihatkan awal watak anti-demokrasinya dan hendak menafikan keberadaan pertarungan kelas sebagai tak terpisahkan untuk memperjuangkan kelas lemah yang tertindas.
Kediktatoran Sukarno juga mulai terlihat sejak konsep Marhaenisme berusaha diwujudkannya menjadi ideologi partai. Syahrir dan Hatta yang memperkenalkan kehidupan demokratis didalam Partindo (Partai Indonesia) pelan-pelan dipinggirkan dan kehidupan partai mulai diarahkan pada disiplin ketat dan tunduk pada pucuk pimpinan. Untuk menempuh ini Sukarno tidak menggunakan cara yang ditempuh oleh Lenin yang pernah menjelaskan secara logis kepada kelompok Mesheviks ketika Lenin menjadi diktator. Jalan yang ditempuh Sukarno hanyalah sibuk dengan penjelasan-penjelasan pentingnya keberadaan partai pelopor yang memiliki massa besar.
Bagi Sukarno, menegakkan ideologi Marhaenisme lebih penting ketimbang membangun kehidupan demokratis. Sembari mengutip Karl Liebknecht, ideolog komunis Jerman, Sukarno menegaskan bahwa massa harus dibuat radikal dan jangan beri kesempatan untuk pasif menghadapi revolusi. Meski kelak sesudah kemerdekaan tercapai, penganut Marhaenisme cenderung bergabung dengan partai Murba, namun Marhaenisme ini lebih menyepakati tafsiran Tan Malaka tentang Marhaenisme.


Tiga Komponen Marhaenisme

Pada tahun 1927, Soekarno dan kawan-kawan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia—kelak berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai baru ini menggunakan marhaenisme sebagai azas politiknya. Dengan azas itu, PNI berhasil menggerakkan kaum marhaen, yang meliputi hampir 90 persen rakyat Indonesia kala itu, untuk menggoyang kekuasaan kolonial.
Sejak saat itu, Marhaenisme menjadi salah satu ideologi perjuangan rakyat Indonesia. Disamping itu ada sosialisme, komunisme, dan islamisme. Melalui dua corong utamanya, Fikiran Ra’jat dan Suluh Indonesia Muda, PNI berhasil menyebarkan faham Marhaenisme-nya ke seluruh penjuru negeri. Bahkan hingga ke Malaya.
Pada tahun 1930-an, organisasi nasional Malaya yang baru berdiri, Kesatuan Kaum Muda (KMM), sangat terpengaruh oleh marhaenisme. Malahan, pada tahun 1955, berdiri partai politik bernama Partai Rakyat Malaya (PRM) yang mengadopsi Marhaenisme sebagai azas partai.
Di pemilu 1955, hampir 30 persen pemilih Indonesia mengidentifikasi dirinya sebagai Marhaenis. Popularitas Marhaenisme memang tidak terlepas dari andil Soekarno. Melalui medium pidato, Soekarno mendidik rakyat dengan berbagai ajaran politik, termasuk marhaenisme. Ia sangat piawai menjelaskan teori yang rumit menjadi begitu sederhana.
Di Konferensi Partindo, di Mataram, tahun 1933, Soekarno menjelaskan esensi marhaenisme sebagai sebuah ajaran politik sekaligus ideologi perjuangan. Menurut dia, marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang di dalam segala halnya menyelamatkan Marhaen.
Untuk itu, kata Soekarno, Marhaenisme juga merupakan cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya kapitalisme dan imperialisme. Sebab, kedua sistim itu telah menghisap dan menindas rakyat jelata. Ditegaskan juga, untuk mencapai susunan masyarakat itu, kaum Marhaen harus menempuh cara-cara revolusioner.
Bagaimana Marhaenisme mencapai tujuannya?
Marhaenisme sebetulnya disusun oleh tiga pemikiran Soekarno yang lain, yaitu analisa kelas marhaen, sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi. Tiga komponen inilah yang membentuk ajaran Marhaenisme.
/1/
Marhaenisme sebetulnya juga merupakan analisa kelas. Sebagai analisa kelas, Marhaenisme membantu Soekarno menemukan kelas sosial yang bisa dijadikan sebagai agen utama atau lokomotif bagi revolusi, yaitu kaum marhaen.
Pijakan analisa kelas Soekarno adalah marxisme. Dalam marxisme, menurut bacaan dia, selalu ada kelas sosial yang memainkan tugas sejarah untuk mengubah relasi produksi agar sejalan dengan tuntutan kemajuan tenaga-tenaga produktif. Di eropa, tugas sejarah itu berada di pundak klas proletar.
Tetapi masyarakat Indonesia berbeda. Kendati sudah ada kaum proletarnya, seperti di perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi jumlahnya masih sangat kecil. Sementara yang dominan adalah pemilik produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, dan usaha produksi kecil. Kehidupan mereka sangat sengsara dan melarat.
Kendati sama-sama melarat, tetapi proletar jelas berbeda dengan marhaen. Proletar adalah terminologi yang digunakan oleh Marx untuk menjelaskan sebuah kelas yang dilahirkan oleh perkembangan kapitalisme di Eropa. Marx menyebutnya ‘kelas pekerja modern’. Proletar ini dicirikan oleh: (1) mereka tidak punya alat produksi; (2) untuk bertahan hidup, mereka menjual tenaga kerjanya kepada majikan/kapitalis; dan 3) dari menjual tenaga kerjanya itulah ia mendapatkan upah.
Sedangkan Marhaen, kendati kehidupannya melarat seperti proletar, masih punya alat produksi. Marhaen adalah nama petani yang ditemui oleh Soekarno saat melakukan risetnya di daerah Bandung Selatan tahun 1920-an. Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai prototipe dari kaum pemilik produksi kecil ini. Kategorinya pun jelas:  1) pemilik produksi kecil; mereka tidak menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri bersama anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan; dan (3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Kalau mau disederhanakan, marhaen adalah pemilik produksi kecil-kecilan, yang tidak mempekerjakan orang lain, dan hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri. Mereka meliputi petani kecil/gurem, pedagang kecil, dan produsen kecil.
Dengan analisa kelas ini, Soekarno menemukan tenaga utama untuk mendorong revolusi Indonesia, yaitu kaum marhaen. Dalam perkembangannya, istilah marhaen ini diperluas cakupannya hingga meliputi seluruh sektor rakyat jelata: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya,
Namun demikian, Soekarno tidak menampin peran kepeloporan yang dimainkan oleh proletar. Dia juga percaya bahwa takdir historis penggulingan kapitalisme berada di tangan proletar. Karena itu, dia bilang, “Nah, tentara kita adalah benar tentaranya Marhaen, tentaranya kelas Marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaganya kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar.”
/2/
Pijakan marhaenisme yang kedua adalah Sosio-nasionalisme.
Yang umum terjadi, nasionalisme menjadi proyek untuk menyatukan semua komponen bangsa, baik kelas penindas maupun kelas tertindasnya, ke dalam proyek bersama yang abstrak: kejayaan nasional. Tetapi yang diuntungkan dari proyek ini adalah kaum borjuis nasional.
Maka sosio-nasionalisme adalah kebalikannya. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang berpihak, yakni kepada massa-rakyat. Sosio-nasionalisme menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme). Sosio-nasionalisme mencita-citakan sebuah masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi penindasan dan eksploitasi oleh suatu kelas terhadap kelas tertentu.
Atau pendek kata: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki “masyarakat tanpa kelas” alias “masyarakat adil dan makmur”.
Untuk mencapai itu, sosio-nasionalisme menawarkan beberapa hal. Pertama, sosio-nasionalisme mempromosikan nasionalisme politik (politik nasional yang berdaulat) dan nasionalisme ekonomi (ekonomi nasional yang berdikari). Nasionalisme politik menjamin penyelenggaraan kekuasaan politik negara Republik Indonesia tidak direcoki, apalagi didikte, oleh bangsa atau kekuatan asing. Sementara nasionalisme ekonomi memastikan kedaulatan negara terhadap seluruh kekayaan ekonomi nasional.
Kedua, sosio-nasionalisme menempatkan kemerdekan nasional hanya sebagai “jembatan emas” untuk mencapai cita-cita perjuangan yang lebih tinggi, yakni masyarakat adil dan makmur. Dengan demikian, tujuan akhir perjuangan nasional bangsa Indonesia bukanlah pada terbentuknya negara merdeka saja, melainkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Ketiga, sosio-nasionalisme mengawinkan antara semangat kebangsaan dan kemanusiaan. Sosio-nasionalisme sejiwa dengan “social conscience of man” (budi nurani sosial manusia). Dengan begitu, sosio-nasionalisme mencegah nasionalisme Indonesia terjebak dalam nasionalisme sempit atau chauvinis. Selain itu, sosio-nasionalisme menganggap perjuangan untuk emansipasi nasional tidak terpisahkan dengan perjuangan bangsa-bangsa di seluruh dunia untuk mewujudkan dunia yang adil dan beradab.
Dengan tiga hal tadi, saya kira, kontribusi sosio-nasionalisme adalah menyediakan koridor yang aman bagi perjuangan nasional Indonesia menuju cita-cita akhirnya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dengan koridor itu, perjuangan nasional Indonesia tidak berhenti pada pintu gerbang kemerdekaan, tetapi berlanjut hingga masyarakat tanpa penindasan dan penghisapan terbentuk.
/3/
Komponen marhaenisme yang ketiga adalah sosio-demokrasi.
Sosio-demokrasi adalah antitesa dari demokrasi parlementer yang dihasilkan oleh Revolusi Perancis. Menurut Soekarno,  demokrasi parlementer hanya menjamin kebebasan politik, yakni hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Tetapi kebebasan ekonomi, yang menyangkut akses terhadap sumber-sumber penghidupan, tetap berada di tangan kaum borjuis.
Akibatnya, ketika di ruang politik bisa “ikut memerintah”, bahkan bisa menjatuhkan Menteri dari jabatannya, tetapi di ruang produksi ekonomi mereka tetap saja tertindas dan terhisap. “Di dalam parlemen, di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak,” kata Soekarno.
Selain itu, kendati dikatakan semua orang setara secara politik, tetapi kenyataannya kaum borjuislah yang berjaya mengusai paling banyak kursi di parlemen. Pasalnya, untuk bertarung di pemilu, orang butuh logistik dan propaganda. Dan kaum borjuis menguasai segala-galanya: uang dan propaganda. Dengan uangnya, kaum borjuis bisa membeli suara rakyat jelata yang terjepit kemiskinan. Di samping itu, di bawah masyarakat kapitalis, kaum borjuislah yang mengusai seluruh sarana propaganda dan produksi mental.
“Mereka punya surat-surat kabar, mereka punya radio-radio, mereka punya bioscoop-bioscoop, mereka punya sekolah­-sekolah, mereka punya gereja-gereja, mereka punya buku-buku, mereka punya partai-partai, – semuanya itu biasanya dapatlah menjamin suara terbanyak bagi burjuis di dalam parlemen,” kata Soekarno.
Sebagai antitesa dari demokrasi parlementer, sosio-demokrasi mengawinkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sosio-demokrasi tidak hanya menjadikan kaum marhaen sebagai pemegang kekuasaan politik, tetapi juga menjamin hak seluruh rakyat dalam mengakses alat-alat produksi melalui mekanisme kepemilikan sosial/publik.
Sejiwa dengan sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi juga menegaskan keberpihakan, yakni kepada rakyat-marhaen. Secara harfiah sosio-demokrasi berarti demokrasi masyarakat atau demokrasi massa-rakyat. Karena keberpihakan itu, sosio-demokrasi juga menolak borjuisme (kapitalisme) dan keningratan (feodalisme).
Lantas muncul pertanyaan, apa keterhubungan antara sosio-demokrasi dengan cita-cita marhaenisme, yakni mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur?
Pertama, sosio-demokrasi mengidamkan sebuah kekuasaan politik di tangan rakyat-Marhaen. Bentuk konkretnya adalah Staat (Negara) Rakyat, dimana seluruh urusan ekonomi dan politik dikerjakan oleh rakyat, dengan rakyat, dan untuk rakyat. Seperti ditegaskan oleh Soekarno dalam risalahnya yang terkenal, Mencapai Indonesia Merdeka, tahun 1933:
“Urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs, urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa sahaja dan terutama sekali urusan ekonomi haruslah di bawah kecakrawartian Rakyat itu: Semua perusahaan-perusahaan-besar menjadi miliknya staat, – staatnya Rakyat, dan bukan staatnya burjuis atau ningrat semua hatsil-hatsil perusahaan-perusahaan itu bagi keper­luan Rakyat, semua pembahagian hatsil itu di bawah pengawasan Rakyat.”
Kedua, sosio-demokrasi mendorong kepemilikan sosial terhadap alat-alat produksi dan sumber daya ekonomi. Inilah pijakan bagi penerapan demokrasi ekonomi. Dengan demokrasi di lapangan ekonomi, maka demokrasi di lapangan politik dan budaya menjadi sangat mungkin. Sebab, ekonomi merupakan pangkal bagi kehidupan politik dan sosial-budaya. Siapa yang mengusai sumber-sumber ekonomi, maka dia pula yang berjaya di lapangan politik dan sosial-budaya.
Ketiga, dengan menyerahkan urusan ekonomi dan politik di tangan rakyat, sosio-demokrasi menghilangkan pemisahan antara ekonomi dan politik sebagaimana lazim terjadi di bawah kapitalisme. Urusan pemenuhan kebutuhan ekonomi tidak lagi dianggap urusan individu semata, tetapi menjadi urusan kolektif/publik.

Sumber :
: https://syair79.wordpress.com/2009/04/16/sejarah-marhaenisme-bung-karno/

http://www.berdikarionline.com/tiga-komponen-marhaenisme/

Berdikari Kami


Ngumpul/ngopi itu hampir sama dengan ngaji. Cuman bedanya kalo di pengajian kita membicarakan persoalan ke-akhiratan. Di perkumpulan kita membicarakan soal keduniaan. manfaat dari ngaji sendiri adalah kembali mencharger keimanan kita. Dan itu juga berlaku buat perkumpulan. Mari sering2 berkumpul agar semangat itu terus tercharger dan tidak habis.