Senin, 12 Desember 2016

Esensi Manusia Menurut Filsafat dan Tasawuf

Jean Paul Sartre, seorang filsuf Prancis yang pernah mengungkapkan konsep tentang manusia. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas. Bebaslah yang membedakan manusia dari apapun yang diciptakan Tuhan. Kata bebas menjadikan manusia sebagai yang khusus dan amat istimewa. Yang mana dari kata bebas ini, lahirlah konsep bahwa manusia didahului dengan eksistensi, lalu esensi. Berbeda dengan benda yang didahului oleh esensi, lalu eksistensi.

Sebutlah salah satu benda untuk kita jadikan contoh, misal : pena. Sebuah benda dikatakan didahului oleh esensi karena sebelum secara eksis pena tercipta, lebih dulu sebuah pena tercipta esensinya dan berada di dalam benak manusia yang menciptakan pena pertama kali. Sebelum sebuah pena terbentuk secara nyata, bentuk pena, warna, dan ukuran serta kegunaan pena sudah tercipta lebih dulu di dalam benak penciptanya. Karena kegunaan, warna, ukuran, dan wujud merupakan penjelasan dari sebuah pena, maka pantaslah jika itu dikatakan sebagai esensi dari pena itu. Maka jelas sudah, bahwa pena didahului dengan esensi, hingga kemudian pena tersebut eksis di dunia ini setelah penciptanya membuatnya.

Sesuatu yang sudah ditentukan pertama kali sebagai apa, ketika hadir ia tidak akan menjadi apa-apa, selain sebagai apa ia ditentukan pertama kali. Sebagaimana sebuah pena, yang sudah ditentukan sebagai pena. Bagaimana mungkin pena mampu membuat dirinya tidak sebagai pena? Jika manusia yang menggunakan pena menjadi bukan pena, yang melakukan itu adalah manusia dan bukan penanya. Karena si pena, tetaplah sebagai pena.

Yang demikian ini berbeda dengan keadaan manusia. Sebagai yang eksistensinya lebih dulu, manusia sadar akan dirinya sendiri. Eksisnya ia membuat ia memiliki perjalanan untuk menemukan esensi dirinya. Manusia tercipta tanpa ada yang pernah merencanakan sebelumnya. Disini, marilah kita merasuk ke dalam pemikiran Sartre sebagai non muslim. Maka, mari sedikit kita berfikir melalui penglihatannya. Ketika seorang ayah dan ibu hendak memiliki anak, ia tidak sedang membuat manusia untuk menjadi bagaimana, tapi mereka hanya melakukan planning. Sebatas planning dan selebihnya mereka menyerahkan kejadian  anak mereka kepada Tuhan. Ini jelas berbeda dengan bagaimana manusia menciptakan sebuah benda. Maka ketika manusia ada, ia telah eksis tanpa esensi. Kekosongan dirinya dari esensi ini yang membuat manusia bisa bergerak, berfikir, merasa, dan sadar. Kekosongan dirinya dari esensi membuat manusia harus menemukan esensinya, dan hidup adalah jalan dan cara untuk itu.

Kemampuan manusia untuk bergerak, berfikir, merasa, dan sadar inilah yang menjadi sebuah petunjuk dasar bahwa manusia memiliki kebebasan. Kebebasan manusia ada ketika mereka memiliki kemampuan itu. Sehingga, ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, ia memiliki kebebasan. Ia bebas menentukan dirinya akan menjadi apa nanti. Ia bebas melakukan apapun. Ia bebas menjadi apapun. Dan sebagai yang bebas melakukan apapun, manusia juga mendapat kemungkinan untuk mendapat ganjaran apapun. Karena, sebab takkan bisa berdiri sendiri tanpa akibat.

Sementara esensi seorang manusia itu bukanlah profesinya, apa yang ia lakukan, dan bagaimana dia. Itu semua sebatas identitas dirinya. Sebagaimana sebuah benda yang esensinya merupakan penjelasan yang membuat benda tersebut menjadi berbeda dengan benda atau apapun lainnya. Esensi dapat dikatakan sebagai penjelasan dari sesuatu yang membuat sesuatu itu jelas karena perbedaan ia dengan lainnya terungkap. Lalu apa esensi manusia itu?

Sartre mengatakan bahwa antara manusia, apa yang ia lakukan, juga apa yang ia rasakan terdapat jarak. Jarak ini yang membuat manusia bukanlah apa yang ia lakukan juga bukan apa yang ia rasakan. Manusia adalah subjek yang justru menggunakan itu semua sebagai sarana pencarian dia akan esensinya.

Untuk menemukan apa sebenarnya esensi manusia, adalah dengan memperhatikan keadaan para benda. Jika kita lihat, benda-benda sebagai yang telah mendapatkan esensinya sebagai apa, mereka menjadi demikian. Memiliki fungsi, tapi bukan untuk dirinya sendiri. Berhenti karena sudah menemukan apa yang seharusnya ia cari. Benda tampak teronggok begitu saja, dan tidak merasa apa-apa. Mereka terhenti dan diam, bahkan tidak hidup adalah karena mereka sudah tidak memerlukan sadar, fikir, gerak, dan rasa lagi, sebab mereka sudah mendapatkan esensinya.

Dalam tasawwuf, tujuan seorang manusia adalah mencari ridha Allah SWT. Yang mana untuk mendapatkan ridho ini, seorang manusia harus mendekatkan dirinya kepada Allah dengan jalan beribadah. Pendekatan diri ini dilakukan untuk mengembalikan dirinya sendiri kepada Allah, baik dalam keadaan hidup ataupun jika mati nanti. Dalam tasawwuf esensi atau hakikat diri sudah jelas, sehingga manusia tidak perlu menemukan lagi esensi dirinya, seperti yang Sartre lakukan. Esensi diri manusia adalah Allah SWT. Manusia mendapatkan bekal sadar, fikir, rasa, dan gerak untuk menemukan hakikat dirinya itu, yakni untuk kembali lagi ke Allah karena ia berasal dari Allah.

Dan dalam keadaan telah kembali kepada Allah inilah manusia tampak serupa dengan para benda. Seorang yang telah mencapai makrifatullah (mengenal Allah), seorang itu tidak lagi mampu merasakan apapun baik sedih, senang, atau apapun karena yang ia rasakan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi memikirkan apapun, karena yang ia pikirkan hanyalah Allah. Seorang itu tidak akan lagi sadar akan apapun, karena ia hanya sadar akan Allah. Dan seorang itu tidak perlu lagi bergerak, karena untuk apa bergerak atau hidup jika sudah merasakan Allah. Tidak ada lagi ketertarikan pada apapun dan untuk apapun. Manusia sudah bagai benda, bebas dari segala keduniawian yang ada bersamanya sebelumnya.

Dan keistimewaan Islam sebagai agama yang sempurna ini, adalah dengan tidak terhentinya hal itu sampai pada manusia sebagai benda. Namun juga sampai pada tiada lagi jarak antara manusia dengan Allah SWT. Manusia akan hilang dan tidak lagi memiliki keberadaan, seutuhnya tiada dan kembali kepada Allah seluruhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar