Karl Marx dan Traktat Ekonomi Sosialis
Oleh:Muhammad Muhibbuddin*
…………….Imagine no possesion/I wonder if you can/ No need for greed or hunger/ A brotherhood of man/ Imagine all the people sharing all the world/…………..and the world may live as one ( John Lennon)
Dialektika dan dinamika sistem ekonomi dunia, pada tingkat ketegangannya yang paling tinggi, adalah terjadi antara aliran libralis-kapitalis versus sosialis-komunis. Maenstream dua sistem perekonomian tersebut, pada umumnya merujuk pada dua tokoh besar yakni Adam Smith sebagai representasi dari aliran pertama, dan Karl Marx sebagai representasi dari yang kedua.
Kedua sistem ekonomi tersebut telah menancapkan sebuah fakta dalam proses sejarah manusia dan sekarang mengental menjadi “rezim” peradaban. Seluruh wacana, diskursus dan perspektif ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ekonomi politik, selalu melibatkan atau bahkan merujuk pada dua aliran di atas. Sehingga dunia seolah hanya disodori oleh dua tawaran:liberalis atau sosialis, komunis atau kapitalis, kanan atau kiri dan seterusnya.
Khusus dalam dunia ekonomi, arus utama dari sistem nilai atau paradigma yang mendominiasi sebagai dasar operasional berjalanya aktifitas ekonomi global adalah dua aliran tersebut. Sistem ekonomi dengan segala macam derivasi, modifikasi dan cabang-cabangnya adalah fenomena sosial yang berada dalam koridor liberalisme vis a vis sosialisme. Bahkan meskipun sekarang, khususnya di Indonesia, sedang berkembang sistem ekonomi Islam atau ekonomi Syari’ah, namun ketika diselidiki lebih mendalam, ternyata di dalamnya juga sangat kapitalis. Bahkan bank Syari’ah yang selama ini sedang menggejala ditengarai lebih kapitalis daripada bank konvensional. Dengan melihat sistem operasional bank Syari’ah tersebut, istilah Islam sebagai jalan alternatif dari kapitalisme dan sosialisme, yang sering dilontarkan oleh aktifis-aktifis Islam kanan, hanya sebatas jargon. Dalam realitas empiriknya, sistem ini tetap merupakan modifikasi dari sistem kapitalis. Hanya saja pola managemennya lebih dilabeli dengan istilah Islam atau Syari’ah.
Sepanjang sejarahnya, kedua sistem ekonomi di atas, masing-masing berusaha untuk mendominasi dunia. Baik liberalisme maupun komunisme oleh para pengagumnya dipercayai sebagai “mantera” atau “agama” yang paling tepat untuk membangun dunia. Kedua aliran tersebut mempunyai landasan etis yang di dalamnya masing-masing menawarkan mimpi-mimpi kesejahteraan dan kemakmuran. Hanya saja tipe dan dasar operasionalnya berbeda.
Bagi liberalisme, untuk menciptakan kemakmuran, maka sebagai prasyaratnya harus diciptakan ruang kebebasan bagi para indifidu untuk menentukan dan mengejar kepentingan ekonomi. Pola semacam ini mengandaikan adanya sistem kompetensi yang tinggi. Sehingga konsekuensinya, bagi mereka yang kuat yang berhak memenangkan pertarungan. Sementara bagi mereka yang lemah, harus bersedia menyingkir dari percaturan ekonomi-politik dunia.
Pertarungan ternyata, sekarang dimenangkan oleh kubu liberal-kapitalis. Maka,muncullah yang namanya sistem kelas. Dalam sistem ini, negara, regulasi, sistem perundang-undangan dilarang keras untuk melakukan intervensi, melainkan harus membuka jalan seluas-luasnya demi terimpelementasikannya sistem tersebut.
Sebaliknya, traktat ekonomi sosialis percaya bahwa untuk menciptakan kemakmuran, maka segala potensi alam harus dibagi sama rata, sama rasa. Indifidu tidak mempunyai kebebasan untuk memiliki atau apalagi mengakumulasi modal. Sistem penyamarataan ini, bagi sekte sosialis, dirasa sangat adil. Karena di dalamnya tidak ada lagi kelas sosial:kaya miskin, juragan-buruh, majikan-jongos, pimpinan- karyawan dan sebagainya.
Marx dan Ekonomi Sosialis
B.1. Riwayat singkat Marx (Lahir, karir dan akhir)
Karl Marx lahir pada 5 Mei 1818 di Trier atau Traves, Jerman. Ia terbilang dari keluarga terpandang. Ayahnya Hinrich Marx adalah seorang yang berdarah Yahudi yang menjadi pengacara di Traves, sementara ibunya juga berdarah Yahudi adalah putri pendeta Belanda. Sejak kecil ia sudah pernah mengalami pergolakan keagamaan yang dahsyat. Sejak berusia 6 tahun, seluruh keluarganya berpindah agama (converse) dari Yahudi ke Kristen Protestan. Perpindahan agama ini sudah barang tentu merubah dasar keyakinan dan keberagamaan Marx. Maka dari itu, peristiwa converse ini merupakan salah satu persitiwa yang sangat membekas di hati Marx dan mempengaruhi perjalanan hidup Marx selanjutnya.
Sejak usia 17 tahun, tepatnya tahun 1835 Marx masuk Gymnasium (sebuah sekolah menegah) di Traves. Sehabis lulus dari Gymnasium Marx melanjutkan kuliah di universitas Bonn dengan mengambil fakultas hukum. Tapi karena studi Marx di sini lebih disebabkan oleh paksaan orang tuanya, maka Marx hanya bisa bertahan satu tahun. Selepas dari Bonn Marx akhirnya masuk ke Universitas Berlin dengan konsentrasi mempelajari filsafat dan sejarah. Rupanya disiplin ini yang dia cita-citakan semula. Maka di Universitas Berlin inilah ia mulai membangun basis intelektualnya yang akhirnya menjadi filsof besar. Di universitas inilah ia juga ikut Young Hegelian Club hingga mempertemukan dia dengan tokoh seniornya Feuearbach.pendidikannya ini ia akhiri ketika dia, dalam usia 23 berhasil memperoleh memeproleh gelar doktor dengan desertasi The Diffrent between natural phillosopy of Democritos and Epicurus, dari universitas Jena.
Dalam karirnya Marx termasuk orang yang terseok-seok. Awal mulanya ia berkeinginan meniti karis sebagai dosen, tetapi gagal karena disebabkan oleh pemikirannya yang radikal dan tidak pernah mau kompromi dengan status quo. Gagal menjadi dosen akhirnya ia terjun ke dunia jurnalistik dengan menjadi wartawan di koran Rhenissche Zeitung(Rhine Gazete). Pada tahun 1842 Marx diangkat menjadi redaktur koran ini. Karena kritinya yang sangat keras terhadap pemerintah, maka majalah ini akhirnya dibredel dan Marx diusir dari negerinya hingga akhirnya Marx pindah ke Paris bersama Arnold Ruge. Di Paris inilah jiwa dan semangat sosialismenya mulai tumbuh. Karena Paris pada waktu itu menjadi pusat pelarian para tokoh-tokoh sosialis dunia. Di paris ini pula ia bertemu dengan kawan sejatinya, Freidrick Angels—seorang anggota sosialis dari London—yang nantinya menjadi tulang punggung keluarga Marx dalam hal membiayai kehidupan.
Tahun 1847 Marx bersama Engels menulis buku yang berjudul La Misere de la Philoshopie (the poverty of philoshopy) sebagai kritik terhadap Piere Joseph Prudon yang dianggapnya kurang revoluisoner dan tidak membrikan gambaran prosepk yang jelas terhadap masa depan kaum buruh. Kemuidan di tahun yang sama ia juga menerbitkan buku Die Deutsche Idiologie (the German Idiology) yang juga dikerjakan dengan Engels. Di buku inilah ia sesungguhnya telah meletakkan dasar historis materialismenya. Kemudian tahun 1845 bersama Engels, Marx membuat Liga komunis (Communist League) di Brussel. Liga ini yang konon menjadi wadah perjuangan gerakan pekerja internasional. Karir Marx diakhiri dengan posisinya dia sebagai penulis buku tentang ekonomi-politik yang menggugat sistem ekonomi kapitalis. Hidupnya termasuk tragis. Anak –anaknya banyak yang mati karena kelaparan dan bunuh diri. Istrinya sendiri, Jenny van Whestpallen, meninggal karena sakit tanpa pengobatan yang memadahi. Marx tidak bisa ikut mengantarkan ke pemakaman istrinya karena dia sendiri, pada waktu itu sakit. Marx meninggal di ruang belajarnya pada 14 Maret 1883.
B.2. Latar kultural dan historis lahirnya ekonomi sosialis Marx.
Eropa baru saja menyelesaikan pertentangannya antara kekuatan kapitalisme yang baru lahir dengan rezim feodalisme. Sebelumnya, sejarah masyarakat Eropa lebih didominasi oleh kaum bangsawan dan feodal. Kelas masyarakat inilah yang telah lama mencengkramkan kuku penjajahannya pada masyarakat bawah. Namun, sejarah ternyata berubah. Setelah sekian lama berada dalam cengkraman kaum feodal, maka lahirlah kekuatan baru yakni kaum kapitalis yang berusaha meruntuhkan otoritarianisme kaum feodal. Hal ini ditandai dengan lahirnya Renaissance di Eropa. Lahirnya era ini menandai lepasnya masyarakat dari era kegelapan yang lebih didominasi oleh kaum bangsawan –feodal.
Era pencerahan membawa Eropa ke dalam sebuah peralihan dari kaum feodal ke kaum kapital. Hal ini dipicu dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johan Guttenberg pada abad ke 15 M. Hadirnya mesin cetak ini mampu merubah kondisi sosial-budaya masyarakat Eropa pada waktu itu. Hal ini terutama dalam hal produksi. Oleh mesin cetak ini, produksi buku akhirnya bisa dilakukan secara massal. Sebelumnya, proes produksi buku atau tulisan lebih bersifat manual. Tehnik ini dilakukan dengan menggunakan tangan atau menulis di atas batu (litografi). Pola manual semacam ini jelas sangat melelahakn dan jelas tidak efektif untuk meningkatkan produksi tulisan.
Semakin mudah orang mencetak buku secara massal, gairah untuk menulis juga meningkat. Namun, bagi masyarakat awam mereka menyimpan tulisannya untuk dirinya sendiri. Hanya para bangsawan yang mampu mencetak tulisannya. Karena biaya atau ongkos untuk cetak sangat mahal. Namun yang harus diketahui adalah bahwa ditemukannya mesin cetak ini merupakan fenomena revolusioner yang mampu mendobrak kebuntuan produksi selama berabad-abad. Mesin cetak ini merupakan faktor utama terjadinya akselerasi dan peningkatan produksi buku dan bacaan. Fenomena ini berimplikasi pada lahirnya era keterbukaan komunikasi. Dengan banyakanya kuantitas buku yang dicetak, masing-masing orang terpicu untuk saling tukar ide dn pikiran. Maraknya diskusi dan pertukaran ide ini ternyata membawa akibat fatal terhadap rezim bangsawan. Derasnya wacana dan pertukaran ide membuat budaya kritis masyarakat semakin terasah sehingga mampu membongkar segala macam kebusukan dan kebobrokan rezim bangsawan atau kaum feodal sekaligus meruntuhkan mitos surgawi yang diwartakan para raja.
Revolusi teknologi itulah yang akhirnya menjadi titik tolak terjadinya perubahan-perubahan besar di masyarakat. Fakta yang paling jelas sebagai konsekuensi munculnya revolusi teknolgi ini melahirkan apa yang dinamakan dengan Engels Revolusi industri. Hal ini, dalam bidang ekonomi berarti, telah terjadi perubahan mendasar dari sistem pertanian ke sistem perindustrian. Ketika revolusi industri lahir, maka fenomena ini diikuti dengan lahirnya revolusi sosial. Salah satunya adalah terjadinya revolusi Perancis.
Bagi Gracchu Babeuf, revolusi Perancis adalah pelopor revolusi lainnya, revolusi yang lebih cemerlang menjadi revolusi terakhir.Dalam revolusi sosial ini, pihak yang menjadi aktor utamanya adalah kelas sosial baru yakni kaum borjuis atau kapitalis. Dengan hadirnya revolusi sosial ini, sistem feodal mulai runtuh dan kehilangan legitimasinya di mata masyarakat dan digantikan oleh sistem kapitalis. Namun, yang perlu diketahui juga, bahwa peralihan dari feodalisme ke kapitalisme ini tidak sepenuhnya diwarnai dengan revolusi. Negara-negara di Eropa pada waktu itu mempunyai caranya tersendiri yang berbeda. Di Inggirs misalnya, peralihan ini lebih didukung oleh hasil kerja sama antara kelas feodal dengan kelas borjuis atau kapital.
Ketika sistem feodal tergantikan oleh sistem kapital, bukan berarti sebuah masalah selesai. Namun di sinilah justru muncul problematika baru. Budaya penindasan yang awalnya didominasi oleh kaum feodal kini tergantikan oleh kaum kapital. Dari sinilah akhirnya kaum buruh Eropa sadar, bahwa dengan berkaca pada evolusi Perancis, gerakan revolusi mereka ternyata hanya ditunggangi oleh kaum borjuis untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Setelah kekuasaan berada di tangannya, kaum borjuis ini segera menunjukkan taring dan kuku-kuku tajamnya. Mereka ganti melakukan borjuasi baru seperti yang dilakukan oleh seniornya, kaum feodal. Sistem penindasan dan borjuasi itu terlihat dengan pemerasan tenaga para buruh di pabrik-pabrik mereka.
Kondisi pekerja amat memprihatinkan, sementara upah buruh sangat rendah. Pemandangan yang tak manusiawi ini merupakan kondisi sehari-hari di tengah masyarakat Eropa waktu itu. Teknologi baru yang ditemukan itu, bukannya meningkatkan kesejahteraan kaum buruh, tetapi justru memerangkap kehidupan kaum buruh ke dalam peniondasan yang lebih kejam.sebab, pada akhirnya, penemuan teknologi ini akhirnya dijadikan oleh kaum borjuis untuk menekan para buruh. Hadirnya teknologi ini menajdikan para kapitalis bebas melakukan tawar menawar kepada buruh. Dengan bantuan teknologi itu, mereka mampu menggerakkan pabriknya tanpa memerlukan tenaga manusia yang banyak.
Rupanya hal itulah yang dijadikan senjata para borju untuk meneror buruh. Para borju itu seolah berkata kalau pabrik yang dioperasikan tidak begitu membutuhkan tenaga buruh yang banyak karena sudah mempunyai alat-alat teknologi untuk produksi, maka para buruhlah yang harus membutuhkan pabrik karena mereka butuh pekerjaan. Kondisi buruh yang terhimpit dan terintimidasi ini membuat para juragan semakin seenaknya sendiri terhadap buruh. Mereka menggaji murah para buruh, melakukan PHK sesuakanya dengan alasan tidak dibutuhkan tenaga dan sebagainya. PHK ini menjatuhkan daya tawar kaum buruh di hadapan para majikan dengan berprinsip pada teori Adam Smith.
Fenomena penindasan terhadap kaum buruh oleh kaum borjuis inilah yang menegaskan Marx sebagai orang sosialis. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan kritik-kritiknya terhadap kaum borjuis dan kecamannya terhadap para tokoh atau pemikir yang cenderung idealisme atau religius. Sebagai seorang penulis handal, Marx mengutuk para penulis liberal yang memfokuskan dirinya untuk usaha propaganda menangkal ateisme. Marx berpendapat bahwa tenaga atau pikiran harus ditujukan pada hal-hal yang konkrit, yang berkaitan erat dengan kondisi berat para buruh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar